Pertanyaan:
السلام عليكم ورحمة اللّه وبركاته
Bismillah,
Mau bertanya soal adab mengganti rugi. Suatu kasus yang kami alami, dalam suatu majelis kami melarang orang yang berada dalam majelis untuk menggunakan gadget tapi ternyata untuk urusan yang penting, salah seorang yang berada dalam majelis menggunakan gadget dan menyimpannya dalam buku, saat buku tersebut diambil oleh yang pemimpin majelis ternyata gadget tersebut terbanting dan rusak, sehinga harus diganti seharga tertentu yang nilainya cukup mahal. Pemimpin majelis pun tidak mengetahui bahwa dalam buku tersebut terdapat gadget tersebut. Lalu, Bagaimanakah pembagian biaya dalam penggantian kerusakan tersebut?
(Dari Hamba Alloh Anggota Grup WA Bimbingan Islam)
Jawaban:
وعليكم السلام ورحمة الله وبر كاته
Kaidah Fikih: Ganti Rugi Wajib, Baik Sengaja Atau Tidak.
Kesalahan karena tidak sengaja, dipaksa, atau lupa, dimaafkan oleh Ar Rahman, Dzat yang kita sembah. Tapi jika menyebabkan rusaknya sesuatu milik orang lain, wajib menggantinya.
Terkadang, kita tidak sengaja merusak barang milik orang lain. Misalnya, karena mengantuk saat menyetir, akhirnya tidak sengaja menabrak penjual batagor yang sedang berjualan di pinggir jalan sehingga gerobaknya rusak. Atau juga karena lupa. Karena terlalu asyik main HP, kita lupa kalau sedang meletakkan setrika di atas pakaian teman kita sehingga pakaiannya hangus.
Dalam kasus seperti ini, ada dua pokok pembahasan :
Apakah kesalahan karena tidak tahu, tidak sengaja, atau lupa, apakah membuat pelakunya berdosa?
Seandainya kesalahan tidak disengaja tersebut mengakibatkan rusaknya properti orang lain, apakah terkena kewajiban ganti rugi?
Kaidah : Tidak berdosa tapi wajib ganti rugi
Syaikh As Sa’di rahimahullah mengatakan,
و الخطء و الإكراه و النسيان…أسقطه معبودنا الرحمان
لكن مع الإتلاف يثبت البدل…و ينتفي التأثيم عنه و الزلل
Kesalahan karena tidak sengaja, dipaksa, atau lupa…
Dimaafkan oleh Ar Rahman, Dzat yang kita sembah…
Tapi jika menyebabkan rusaknya sesuatu milik orang lain, wajib menggantinya…
Namun dia tidak dikenai dosa atas kesalahannya…
Penjelasan kaidah,
Kaidah ini berkaitan dengan kesalahan yang dilakukan seseorang karena tidak sengaja, dipaksa melakukan sesuatu yang salah[1], atau lupa. Seseorang yang melakukan kesalahan karena tidak sengaja atau lupa, maka ia tidak berdosa. Tetapi jika kesalahannya tersebut mengakibatkan rusaknya barang atau properti orang lain, bahkan terbunuhnya orang lain, ia wajib ganti rugi atau membayar diyat, tidak peduli apakah karena tidak sengaja atau karena lupa.
Dalil Kaidah
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِنَّ اللَّهَ قَدْ تَجَاوَزَ عَنْ أُمَّتِي الْخَطَأَ، وَالنِّسْيَانَ، وَمَا اسْتُكْرِهُوا عَلَيْهِ
“Sesungguhnya Allah memaafkan dari umatku kesalahan karena tidak sengaja, lupa, atau dipaksa” (HR. Ibnu Majah dan lainnya, dinilai shahih oleh Al Albani)
Allah Ta’ala berfirman mengisahkan do’a hamba-Nya,
رَبَّنَا لَا تُؤَاخِذْنَا إِنْ نَسِينَا أَوْ أَخْطَأْنَا
“Ya Rabb kami, janganlah Engkau hukum kami jika kami melakukan kesalahan karena lupa atau tidak sengaja” (QS. Al Baqarah : 286)
Maka Allah menjawab, “Aku maafkan” (HR. Muslim)
Ganti Rugi Tidak Pandang Bulu
Meskipun orang yang berbuat keliru karena tidak sengaja atau lupa tidak menanggung dosa, tetapi jika kesalahannya tersebut berimbas pada terluka atau terbunuhnya orang lain, atau rusaknya barang miliki orang lain, maka ia wajib ganti rugi.
Syaikh ‘As Sa’di menjelaskan, “Kesimpulannya, orang yang tidak sengaja, atau lupa, atau dipaksa melakukan suatu kesalahan, tidak menanggung dosa atas kesalahannya. Akan tetapi, ia wajib ganti rugi jika kesalahannya berdampak pada terbunuhnya orang lain atau rusaknya barang orang lain. Karena masalah ganti rugi dikaitkan dengan perbuatan dan kerugian yang ditimbulkannya, sama saja karena sengaja atau tidak”.
Syaikh ‘Abdullah Al Fauzan menerangkan, “Setiap mukallaf (yaitu orang yang baligh dan berakal) wajib ganti rugi jika merusak sesuatu milik orang lain. Begitu juga dengan mereka yang bukan mukallaf, semacam anak-anak atau orang gila. Kaidah ini mencakup kerugian pada jiwa yang terbunuh, harta, atau hak-hak orang lain.
Maka siapa saja yang merusak sesuatu milik orang lain tanpa alasan syar’i, wajib ganti rugi, sama saja apakah karena sengaja, tidak tahu, atau lupa. Sama saja apakah mukallaf ataukah bukan mukallaf. Karena masalah ganti rugi ini tidak berkaitan dengan status pelakunya (mukallaf atau tidak), tapi masalah ini adalah mengaitkan hukum ganti rugi dengan sebab rusaknya properti orang. Jika sebabnya ada maka hukum harus ditegakkan”.
Contoh penerapan kaidah
Kembali ke contoh di awal tulisan :
Jika ada pemimpin majelis ilmi yang berniat merapikan jama’ahnya dengan peraturan melarang bermain gadget, namun saat berusaha menegakkan peraturan dengan menegur atau berbuat tegas, yang qoddarulloh ada barang milik seseorang yang jadi korban, dan kemudian secara tidak sengaja jatuh atau terbanting, maka tetap menjadi tanggungan pemimpin majelis untuk mengganti gadget tersebut.
Wallahu a’lam
Wabillahit taufiq…
Referensi:
Jam’ul Mahshul fii Syarh Risaalati Ibni Sa’di fil Ushul, ‘Abdullah Al Fauzan (muqarrar Ma’had Al ‘Ilmi Yogyakarta tahun ajaran 1431-1433)
Syarh Manzhumah Al Qawa’id Al Fiqhiyyah, ‘Abdurrahman bin Nashir As Sa’di (muqarrar Ma’had Al ‘Ilmi Yogyakarta tahun ajaran 1434-1435)
Catatan Kaki:
[1] Tentang melakukan pelanggaran karena dipaksa, hal ini dibutuhkan perincian tambahan yang tidak dikupas di sini, perlu pembahasan lebih detail, seperti apakah boleh melakukan pelanggaran karena dipaksa secara mutlak, bentuk pemaksaan seperti apa yang membolehkan seseorang melakukan pelanggaran, dsb.
Konsultasi Bimbingan Islam
Ustadz Rosyid Abu Rosyidah
Referensi: https://bimbinganislam.com/kaedah-ganti-rugi-dalam-islam/